PERLINDUNGAN TERHADAP PEKERJA ANAK MASALAH DAN SOLU

I. PENDAHULUAN

Gejolak kehidupan bernegara dewasa ini masih menyelimuti gemuruhnya suasana demokrasi untuk menentukan siapa sebagai calon pemimpin bangsa, dimana masyarakat menengah ke bawah terpengaruh adanya kenaikan harga bahan  pangan yang kian melambung, pengaruh terhadap masyarakat di kalangan petani didorong oleh  merebaknya isu positif dikalangan usahawan yang mendorong perekonomian sehingga pergolakan politik tidak menimbulkan kekerasan sehingga pengaruhnya terhadap masyarakat dapat memikat investasi lokal maupun asing untuk menanamkan modalnya.

Sebagai alat pemicu pertumbuhan ekonomi di Indonesia, kesatuan visi dan misi suatu bangsa dimasa kini dan masa yang akan datang, perlu diciptakan, untuk itu diperlukan adanya strategi kebijakan dalam pembangunan perekonomian secara nasional jangka pendek hal ini dapat mempengaruhi pertumbuhan perekonomian jangka panjang. Disisi lain dalam kehidupan masyarakat perkotaan terdapat celah kehidupan yang sangat mempriatinkan dengan munculnya kehidupan anak jalanan yang berkeliaran di persimpangan jalan, keramaian lalulintas yang tidak memperhatikan keselamatan dirinya, bila dikaitkan dengan substansi Peraturan Perundang-Undangan tentang Perlindungan dan Kesejahteraan Anak dalam Pasal 37. pasal 39 ayat 4, Pasal 43 ayat 2 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Perbedaan yang sangat menonjol pembangunan secara fisik tidak diimbangi dengan pembangunan moral bangsa akan berakibat rusaknya fundamen tatanan kehidupan didalam masyarakat itu sendiri. Pendidikan di lintas sektoral perlu ditingkatkan guna mengangkat citra bangsa didunia Internasional bahwa kebangkitan suatu bangsa ditandai dengan pedulinya masyarakat terhadap kehidupan anak jalanan yang kian hari makin bertambah.

Sebagai salah satu negara yang telah meratifikasi Konvensi Hak Anak (KHA) sejak tahun 1990, negara Indonesia mempunyai kewajiban melaksanakan kesepakatan-kesepakatan tindak lanjut dan memenuhi hak hak anak sesuai butir-butir konvensi. Dengan telah diratifikasinya KHA, negara mempunyai tanggung jawab untuk mengimplementasikan KHA kedalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun, terjadinya krisis multidimensi yang melanda Indonesia sejak pertengahan tahun 1997, telah menyebabkan kondisi sebagian anak Indonesia secara kualitas mengalami penurunan, sehingga situasi anak Indonesiapun menjadi buram dan semakin memprihatinkan, karena korban terbesar akibat krisis adalah anak anak. Akibat dari krisis tersebut banyak hak anak yang semakin terabaikan, bahkan persoalan anakpun menjadi semakin komplek, dari anak jalanan, anak terlantar, pekerja anak, anak anak korban konflik bersenjata, anak korban trafficking sampai anak anak yang dilacurkan.

Masalah Perlindungan Anak baru menjadi perhatian masyarakat Indonesia pada kurun waktu tahun 90-an, setelah secara intensif berbagai bentuk kejahatan dan eksploitasi terhadap pekerja anak (child labour) di Indonesia di angkat ke permukaan oleh berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Fenomena inipun muncul pula di berbagai kawasan Asia lainnya, seperti Thailand, Vietnam, dan Filipina, sehingga dengan cepat isu ini menjadi isu regional bahkan global yang memberikan inspirasi kepada masyarakat dunia tentang urgensi permasalahan ini.

Lahirnya perhatian secara khusus tehadap praktek HAM di Indoensia, khususnya terhadap Perlindungan Anak, tidak dapat terlepas dari peran LSM dan masyarakat internasional dalam menciptakan gerakan-gerakan sosial baru (new social movement) sebagai sebuah perlawanan (opposition power) terhadap otoritas negara yang otoritatif yang lebih mengejar pertumbuhan ekonomi. Advokasi LSM dalam usaha untuk mewujudkan suatu masyarakat madani (civil society) telah memberikan momentum terhadap pemberdayaan dan perlindungan kaum tersingkir, lemah, dan tertindas (disadvantaged people) untuk memperoleh hak-hak dasarnya sebagai warga dari sebuah masyarakat negara.

Perlindungan terhadap anak, yang merupakan objek sangat rentan (fragile) dalam suatu negara (baik pada kondisi damai maupun perang) terhadap berbagi bentuk penindasan dan eksploitasi secara politis, ekonomi, sosial, maupun budaya masyarakat yang cenderung bersifat patriarchi, merupakan kewajiban dan tanggung jawab dari suatu negara, masyarakat, dan khususnya keluarga. Hal inipun menjadi salah satu pusat perhatian masyarakat dunia pada konverensi HAM di Wina, 25 Juni 1993 yang menghasilkan Deklarasi Vienna dan Program Aksinya yang dipakai sebagai acuan dasar penegakan dan pemberdayaan HAM di dunia, yang salah satu bagiannya secara khusus menegaskan tentang hak-hak anak.

Disahkannya UU No: 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak merupakan suatu lompatan yang sangat besar sekaligus merupakan suatu kemajuan dan perhatian yang luar biasa terhadap anak, terutama dalam upaya pemenuhan hak anak dan perlindungan anak. Dalam rangka pemenuhan dan perlindungan hak anak serta guna menangani permasalahan anak yang semakin berkembang tersebut, perlu dibentuk KOMISI PERLINDUNGAN ANAK INDONESIA (KPAI). Dibentuknya KPAI juga merupakan amanat UU No: 23 tahun 2002 pasal 74 yang menyebutkan “Dalam rangka meningkatkan efektifitas penyelenggaraan perlindungan anak Indonesia yang bersifat independen”.

Dalam makalah ini akan dibahas permasalahan perlindungan anak di Indonesia, dan akan pula disertakan berbagai alernatif pemecahannya. Secara khusus makalah ini akan membahas masalah “pekerja anak”. Pada makalah ini tidak secara khusus membahas permasalahan pekerja anak di Indonesia, akan tetapi pentingnya upaya perlindungan terhadap hak-hak anak menjadi salah satu titik perhatian. Pembahasan tentang perlindungan terhadap hak-hak anak, tidak dapat dilepaskan nasib pekerja anak di Indonesia yang seakan terabaikan oleh arus industrialisasi yang terjadi.

II. PEMBAHASAN

Secara historis pada masa pemerintah kolonial Belanda, mayoritas anak-anak bangsa Indonesia asli) tidak dapat mengenyam pendidikan formal, sehingga sebagian besar dari mereka harus bekerja pada pertanian-pertanian skala besar maupun industri-industri yang dikelola oleh Hindia Belanda. Hanya sebagian kecil anak-anak orang Indonesia yaitu mereka dari golongan priyayi atau bangsawan, maupun orang Golongan Timur. Kondisi masyarakat yang berlapis dan diskriminatif dengan lapisan atas yang jumlahnya sedikit dan sebagian terbesar pada lapisan bawah, mengakibatkan sebagian besar anak-anak Indonesia pada masa itu telah akrab dengan “bekerja” baik di sektor domestik maupun sektor publik yang bermotifkan pada membantu kehidupan keluarga.

Keadaan tak jauh berbeda pada masa sekarang ini. Sekitar 80%-90%  persen anak-anak di Indonesia masih belum mendapatkan hak pendidikan dan jika permasalahan ini tidak ditangani secara serius dan baik, maka bangsa ini akan kehilangan generasi penerus. Alih-alih belajar, anak-anak tersebut malah menghabiskan waktunya untuk bekerja. Hal yang sangat mencolok ialah keberadaan anak jalanan yang terus menjamur di kota-kota besar. Keberadaan anak jalanan menurut hasil Survey tahun 1999 ADB-Depsos-Universitas Atmajaya pada 12 kota diperkirakan kurang lebih 40.000 anak, dimana 48 % dari mereka merupakan pendatang baru dari hasil penelitiannya 12 % anak jalanan itu perempuan dari keseluruhan 60 % telah meninggalkan bangku sekolah dan 20 % masih tinggal bersama orang tuanya.

Perlunya penggalangan di sektor swadaya pendidikan guna menanggulangi perkembangan populasi kehidupan anak jalanan yang kian hari makin bertambah, hal ini perlu penelitian yang lebih cermat terhadap kehidupan anak jalanan tersendiri. Dilingkungan masyarakat ekonomi ke bawah pada umumnya melibatkan anak-anaknya untuk hidup di jalanan kondisi ini sangat memprihatinkan bila tidak diperhatikan nantinya banyak menimbuilkan permasalahan baru, karena anak jalan seharusnya menjadi beban negara khususnya pemerintah. Pandangan hidup di kemudian hari bagi anak jalanan tidak jelas keberadaannya maupun dalam segi status sosial anak itu sendiri. Banyaknya komunitas di kelompok masyarakat mampu dan berpendidikan dan kelompok silibritis kurang peduli dengan kehadiran anak jalanan berpotensial rawan.

Tabel: Perbandingan Jumlah Anak pada Tahun 1961 dan 1992

Anak umur 10-14 1961 (juta)/(%) 1992 (juta)/(%) perubahan (juta)
Sekolah 4,7 (58%) 18,9 (83,5%) 14,2
Bekerja 1,16 (14%) 2,5 (11%) 1,34
Lain-lain 2,43 (29,5%) 1,2 (0,5%) 1,23
Jumlah 8,2 22,6 14,4

Sumber: diolah dari Biro Pusat Statistik (1963 dan 1993)

Data statistik menunjukkan bahwa pada tahun 1992, terdapat kurang lebih 2,5 juta pekerja yang berusia antara 10 – 14 tahun. Angka ini belum termasuk mereka yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga, dan yang mencari kerja yang berjumlah kurang lebih 1,2 juta anak. Secara total, anak yang bekerja dan telah meninggalkan sekolah berjumlah kurang lebih 3,7 juta (11,5%).

Keadaan itu masih diperparah lagi dengan terjadinya krisis ekonomi yang berlangsung sekitar tahun 1997, dan entah saat ini apakah sudah dianggap lepas dari krisis tersebut. Masa ini secara khusus diperhitungkan sebagai salah satu fase yang akan menentukan perkembangan pekerja anak di Indonesia, mengingat dampaknya telah berpengaruh terhadap menurunnya tingkat pendapatan sebagian besar masyarakat Indonesia dan meningkatnya jumlah pengangguran terbuka. Menurunnya tingkat pendapatan penduduk yang berakhir dengan menurunnya konsumsi dan kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya, secara langsung berpengaruh terhadap tumbuh kembang anak secara sehat. Resesi ekonomi yang terjadi sejak pertengahan tahun 1997 seakan membuyarkan sebuah harapan akan menurunnya dan bahkan hapusnya eksploitasi pekerja anak di Indonesia. Menurunnya tingkat pendapatan masyarakat dan semakin meningkatnya jumlah pemutusan hubungan kerja secara mendadak, bukan tidak mungkin akan mengembalikan situasi kepada lingkungan masyarakat yang sangat permisif terhadap eksploitasi pekerja anak seperti yang terjadi pada periode awal setelah dicanangkannya deklarasi HAM.

Pengembangan dan penerapan berbagai program yang tepat dan terarah diharapkan dapat meng-antisipasi keadaan agar tidak menuju pada kondisi yang lebih buruk. Program-progran tersebut antara lain harus berintikan pada pemecahan permasalahan mendasar yang dihadapi oleh pekerja anak, yang meliputi:

  1. Pendidikan.

Pendidikan merupakan investasi yang tidak ternilai bagi masa depan suatu bangsa. Kualitas sumber daya manusia pada masa yang akan datang sangat ditentukan oleh pengembangan dan pemberdayaan anak-anak pada saat ini. Anak sebagai penentu kehidupan suatu bangsa pada masa yang akan datang harus memiliki kualitas pendidikan yang lebih baik (better educated) untuk menghidari terjadinya sebuah generasi yang hilang (lost generation) yang diprediksi sebagai akibat menurunnya kondisi fisik, mental, sosial dan intelektual anak sebagai akibat krisis ekonomi yang berkepanjangan. Wajib belajar harus menjangkau seluruh lapisan anak, tidak terkecuali para pekerja anak. Program SD dan SLTP terbuka merupakan salah satu alternatif yang dapat memungkinkan pekerja anak meningkatkan pendidikan dan pengetahuannya, untuk menyongsong masa depan yang lebih baik.

  1. Peningkatan kesadaran dan pengetahuan terhadap hak-hak pekerja anak.

Keseriusan pemerintah dan masyarakat sangat diragukan dalam mendorong kesadaran para pekerja anak terhadap hak-haknya, hal ini tentunya juga didorong oleh berbagai anggapan tentang kecilnya kasus yang muncul. Kurangnya perhatian dari pemerintah dan masyarakat inilah sebetulnya yang membuat permasalahan pekerja anak jarang di angkat kepermukaan. Peran serta masyarakat (LSM) sangat dibutuhkan dalam memberikan advokasi maupun sosialisasi hak-hak pekerja anak. Dengan mewujudkan sebuah jaringan perlindungan anak, permasalahan yang berhubungan dengan pekerja anak akan semakin mudah dan cepat mendapatkan perhatian baik dalam lingkup nasional bahkan inter-nasional.

  1. Penegakan Hukum dan Perlindungan Hukum.

Lemahnya penegakan hukum terhadap eksploitasi pekerja anak merupakan indikasi adanya sikap ambivalen pemerintah terhadap permasalahan ini, disamping juga rendahnya tingkat pengetahuan dan perhatian aparat penegak hukum. Peningkatan jaringan kerja sama LSM dalam melakukan advokasi perlindungan hukum terhadap pekerja anak sangat dibutuhkan untuk mendorong terjadinya keseimbangan antara hak dan kewajiban.

Salah satu cara lain dalam mengatasi permasalahan “pekerja anak”, khususnya anak jalanan yaitu dengan jalan adopsi. Pengertian adopsi yaitu pengakatan anak berusia balita yang dimana kondisi dalam kelangsungan hidupannya termasuk kondisi keluarga yang tidak mampu atau bisa juga sebab lain.

Dalam prespektif HAM adopsi merupakan jalan terbaik guna menanggulangi dan mengurangi beban penderitaan masyarakat miskin maupun masyarakat anak jalanan itu sendiri karena anak-anak merupakan asset bangsa sebagai generasi penerus dan merupakan potensi sumberdaya  manusia bagi pembangunan nasional jangka pendek maupun jangka panjang.

Untuk itu dibutuhkan pembinaan dan memberikan kesempatan kepada anak bangsa yang terlantar di jalanan yang dalam pendidikan kurang mendapatkan semestinya di usia belajar. Kondisi ini merupakan tugas kewenangan kita bersama sebagai kepanjangan tangan dari tugas negara untuk mengayomi khususnya pemerintah dan kita sebagai masyarakat Indonesia yang peduli atas kehadiran anak-anak tersebut untuk mengenyam pendidikan.

III. PENUTUP

Permasalahan pekerja anak sebenarnya hampir menyerupai sebuah gunung es. Kompleksitas pada dasar permasalahannya tidak tampak, sedangkan aktualisasi pada permukaan berupa tindakan-tindakan eksploitasi terhadap anak juga hanya muncul sedikit. Budaya masyarakat yang lebih cenderung bersifat patriarchi dan kemiskinan secara struktural menciptakan suatu iklim yang permisif terhadap pekerja anak di Indonesia. Terbatasnya studi dan perhatian terhadap kondisi pekerja anak di Indonesia memberikan suatu kontribusi terhadap terbelenggunya nasib pekerja anak.

Dengan adanya kondisi seperti ini  program-program perlindungan anak sangatlah dibutuhkan adanya. Jika program-program yersebut dapat berjalan sebagaimana yang direncanakan, tentunya keberadaan “pekerja anak” akan dapat dikurangi. Adopsi bagi anak jalanan perlu segera ditangani secara serius dengan pertimbangan bahwa hak suatu warga negara adalah sama untuk memperoleh kemerdekaan dalam kehidupan, usia anak yaitu usia pendidikan dan usia belajar dan bermain, perlunya kasih sayang dan perhatian dalam kehidupannya, maka dari itu di himbau bagi masyarakat yang mampu untuk mengadopsi bagi anak jalanan, dimana anak jalanan merupakan bagian dari masyarakat atau warga negara juga mampunyai hak yang sama dengan anak-anak lainnya, mereka anak jalanan berhak mendapat hak atas pendidikan dan kesejahteraan untuk hidup layak sebagai anggota masyarakat.

3 Tanggapan so far »

  1. 3

    shopiie said,

    hmmtt,,lumayan membantu tugas terstruktur sya,heheheh


Comment RSS · TrackBack URI

Tinggalkan komentar